Ad

5/5/12

Terkena Malaria di Manis mata

Manis mata, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Walau kota kecamatan, tapi kotanya kecil sekali dan tidak ramai. Kalau dibandingkan, masih lebih ramai desa di pulau jawa dari pada kota ini. Letaknya terpencil di tengah hutan dan transportasi menuju ke sana juga sangat sulit sekali. Belum ada 1 bank pun yang membuka cabang pembantunya di sini. Bahkan Bank plat merah sekalipun.


Manis mata dilihat dari satelit
Manis mata dilihat dari satelit
Tepat setahun yang lalu, Mei 2011, aku mendapat tugas memasang jaringan data dan telepon di sebuah bank syariah yang akan membuka cabangnya di Manis mata. Aku menyanggupinya menerima tantangan ini, karena pikirku akan mendapatkan pengalaman baru ketika memasuki pelosok negeri ini.

Maka kukumpulkan informasi untuk menuju ke sana terutama naik apa saja dan berapa kira-kira ongkosnya. Yang pertama kuhubungi adalah kontraktor bangunan/sipil-nya. Ke Manis mata cuma bisa ditempuh dari Ketapang dan dari Pangkalan Bun mas, katanya.  Kalau lewat Pangkalan Bun  ia tidak tahu medannya dan transportasinya apa, karena ia orang Ketapang dan belum pernah ke Pangkalan Bun. Sedangkan kalau dari Ketapang cuma ada ojeg atau sewa motor. Angkutan lain tidak ada, katanya. Kalau naik ojeg sekitar 10 jam sampai 12 jam dengan ongkos 2 juta sejalan! Kalau sewa motor 500.000 perhari! Oh My God.. apakah sulit medan ke sana sehingga sebegitu mahalnya ongkos ojeg? tanyaku dalam hati. Kata si kontraktor, kalau mau ke Manis mata harus siap fisik, mental, dan harus bawa uang kontan yang banyak. Karena ongkos mahal, makan mahal, di tengah hutan, dan kalau kehabisan uang, bank cuma ada di Ketapang dan di Pangkalan Bun! Dan harus hati hati karena di tengah perjalanan rawan begal atau perampokan, lanjutnya. Nyaliku hampir ciut mendengar penjelasannya.

Lalu kucoba menghubungi orang bank yang mengurus proyek, yang kebetulan juga calon pimpinan bank di Manis mata tersebut. Beliau menyarankan sebaiknya aku lewat Pangkalan Bun saja. Dari Pangkalan Bun ada travel ke Manis mata dengan ongkos 500.000, kata beliau. Alhamdulillah, informasi ini sedikit menyejukkan hatiku.

Setelah mengumpulkan informasi dan menyiapkan segalanya, berangkatlah aku ke sana pada tgl 2 mei 2011. Tapi sayang, 2 hari sebelum keberangkatan, kenekku mengabarkan tidak bisa ikut. Ya sudahlah, terpaksa aku berangkat sendiri karena mencari orang yang siap ke sana dalam waktu mendadak sulit sekali. Biarlah nanti aku nyari kenek di sana saja, pikirku.

Dari Bandara Soekarno Hatta aku naik pesawat Merpati tujuan Sampit. Aku sedikit heran waktu menerima sms tiket, kenapa ke Sampit dulu, nggak langsung ke Pangkalan Bun? Aku kan jadi bingung lagi, dari Sampit naik apa ke Pangkalan Bun. Kata orang kantorku tidak ada penerbangan ke Pangkalan Bun dari Jakarta. Ya aku percaya saja karena belum tahu. Yo wis lah.. bismillahi.. tambah pengalaman, kataku dalam hati.

Sampai di Sampit sekitar jam 2 siang. Aku tanya petugas di Bandara Sampit, kalau mau ke Pangkalan Bun naik apa dan dari mana. Naik travel dulu ke kota, nanti dari kota naik travel lagi, kata petugas. Lalu aku naik travel ke kota dengan ongkos 50.000. Jaraknya ternyata cuma sekitar 5-7 km dari Bandara. Aku langsung diantar ke tempat travel yang menuju ke Pangkalan Bun. Aku pun membeli tiket dengan harga 200.000. Aku masih harus menunggu, karena berangkat jam 4 sore. Sisa waktu ini kugunakan untuk sholat dan tiduran. Tepat jam 4 sore travel berangkat dengan membawa 7 orang penumpang. Sepanjang perjalanan banyak sekali lobangnya. Supir harus pintar memilih jalan menghindari lobang yang kadang-kadang dalam. Ini yang membuat perjalanan jadi lama. Jam 1 malam aku baru sampai di Pangkalan Bun.

Beruntung di kota yang belum pernah kukunjungi, seorang diri, tengah malam, belum tahu watak orang sini, tapi tukang ojeg yang datang mengerubung penumpang turun dari travel, dengan baik menunjukkan penginapan yang jaraknya cuma 50 meter. Dengan berjalan kaki ia mengantarku ke penginapan dan membangunkan penjaganya. Setelah kubayar dimuka uang penginapan, aku berniat memberi uang tip pada tukang ojeg ini. Tapi rupanya tukang ojeg itu telah pergi. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali telah diberi kemudahan. Setelah mendapat kunci, aku menuju kamarku di lantai dua, sholat, dan terus tidur karena lelah dan ngantuk.

Jam 5 pagi aku terbangun. Setelah sholat shubuh, aku keluar penginapan untuk sarapan pagi. Alhamdulillah tidak jauh dari penginapan ada warung makan khas jawa timur yang sudah buka. Aku pun makan di warung ini. Makan nasi rames bersama ayam, eh dengan ayam, teh manis, dan ngobrol dengan pelayannya :), cukup 20 ribu saja. Standar lah. Setelah sarapan, aku berjalan-jalan kaki berpusing-pusing ria sambil mencari loket penjual tiket travel menuju Manis mata. Dari beberapa travel, cuma ada 1 biro travel yang melayani rute ke Manis mata. Aku tanya pada pemilik travel apa ada travel yang ke Manis mata, dan berapa ongkosnya. "Ada, ongkosnya 250 ribu per orang", jawab pemilik travel. Lho koq murah sekali tidak seperti yang diceritakan si orang bank yang katanya 500 ribu per orang? Mujur nih, pikirku dalam hati. "Berangkatnya kapan pak?" tanyaku. "Kalau penumpangnya sudah ada 6 orang, langsung berangkat"  jawab pemilik travel. "Kecuali kalau mas mau bayar untuk 6 orang (1.500.000), langsung berangkat hari ini juga. Atau kalau berdua, masing-masing 750.000, kalau 3 orang 500.000/orang" lanjutnya. "oo pantesan orang bank bilang 500.000, mungkin dia cuma bertiga waktu itu" kataku dalam hati. "Kalau menunggu sampai ada 6 orang kira-kira kapan pak?" tanyaku lanjut. "Paling lama biasanya 2 hari, kalau mas mujur, bisa saja hari ini juga" jawab pemilik travel. Walah.. 
Karena ingin menghemat pengeluaran, kuputuskan membeli 1 tiket saja. Toh penginapan murah ini. Perhitunganku, penginapan + makan 2 hari paling 250.000, menghemat 1 juta. Setelah membayar tiket 250 ribu, aku kembali ke penginapan.

Aku mampir dahulu ke dermaga/halte perahu motor klotok yang tak jauh dari penginapan. Ow, sungainya lebar juga, ada sekitar 100 meteran lebarnya. Di kiri kanan sungai banyak rumah berjejer menghadap ke sungai. Setiap rumah yang sejajar di satu sisi saling terhubung dengan jembatan kayu. Tak jauh dari halte ada sebuah warung kelontong yang juga menjual kopi seduh. Aku minum kopi di sini sambil memperhatikan lalu lalang perahu klotok yang berseliweran. Banyak juga orang-orang yang naik perahu klotok ini. Ada pedagang yang membawa barang dagangan, anak sekolah, pekerja, macam-macamlah. Motor pun ada juga yang naik perahu ini. Setelah puas melamun di tepi sungai ini, aku pun kembali ke penginapan untuk melanjutkan tugasku yang tertunda, tidur... :P
(Sebenarnya aku bisa juga naik perahu klotok dari sini ke Kota Waringin. Sayang di Kota Waringin katanya tidak ada angkutan umum ke Manis mata. Bisanya nebeng truk atau mobil yang sedang menuju Manis mata. Itupun jarang mobil yang menuju ke sana. Daripada nggak jelas, aku pilih naik travel saja yang sudah jelas tujuannya)

Jam 3 sore aku ditelpon pihak travel agar siap-siap akan dijemput berangkat ke Manis mata. Horee... berangkat juga hari ini :). Setengah jam kemudian sebuah mobil kijang datang menjemputku yang disopiri langsung oleh si pemilik travel. Belum ada penumpang lain saat itu. Mobilpun langsung meluncur ke suatu tempat.  Aku dioper ke mobil kijang lain yang juga masih kosong. Perasaanku mulai was-was, benar nggak ya ini? Aku tanyakan pada pemilik travel, apa aku benar akan diantar sampai manis mata dan tidak harus bayar lagi? Tenang mas, jangan khawatir, kata pemilik travel. 

Alhamdulillah, ternyata aku pindah ke mobil travel milik orang Manis mata yang baru datang tadi pagi membawa 6 penumpang. Jadi berapapun penumpang dari pangkalan bun, ia angkut juga, karena sudah dapat setoran. Lagi pula, esok pagi, di manis mata sudah ada 6 orang calon penumpangnya yang sudah pesan minta diantar ke Pangkalan Bun. Jadi malam itu mobil harus segera kembali ke Manis mata.  Lagi lagi aku merasa beruntung, tidak berhari hari menunggunya. Setelah muter-muter 2 jam mencari alamat 2 orang penumpang yang akan ikut dan 1 orang yang cuma menitip barang, mobilpun segera melaju meninggalkan Pangkalan Bun. Jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat dan sudah gelap. Ke luar dari Pangkalan Bun jalan masih mulus. Setelah kira-kira 20 km, mobil berbelok memasuki jalan tanah dan memasuki hutan yang gelap. Jalanpun becek sekali karena habis hujan sebelumnya. Dalam hati, benar nggak ya ini jalan menuju Manis mata. Aku berdo'a terus agar dilindungi oleh YMK selama dalam perjalanan. Perjalanan terasa mencekam bagiku. Suara-suara jangkrik dan binatang malam terdengar jelas, berbareng dengan suara deru mesin mobil. Mobil meliuk-liuk melintasi jalan tanah yang becek dengan cepat, seperti di jalan toll. Aku lihat speedometer menunjuk angka 60, 80, kadang-kadang 100. Gila.. Seperti rally saja. Lompat, terbang, goyang kiri, goyang kanan.. mantab.. 

Untuk mengurangi ketegangan, aku membuka pembicaraan dengan penumpang lain dan sopir. Rupanya 2 orang penumpang ini karyawan perkebunan yang habis cuti pulang ke jawa. Dia sempat menginap di rumah saudaranya di Pangkalan Bun, menunggu travel yang nggak jelas kapan berangkatnya. Minimal ada 6 penumpang baru jalan. Sang supir namanya Kelik, umurnya kira-kira 30 tahun, sudah 4 tahun menjalani bisnis travel ini. Cuma dia dan ada 1 orang lagi yang menjalani bisnis ini di Manis mata. Si Kelik pelanggannya paling banyak, karena masih muda, bawa mobilnya gesit, dan jam berapa aja siap berangkat asal penumpang minimal 6 orang. Dia juga orang dari jawa yang sejak kecil tinggal di Manis mata ikut orang tuanya. Pantes saja dia berani bawa mobil tengah malam melalui hutan. Aku mulai tenang mendengar keterangan dari mereka semua.

Ada beberapa jembatan kecil yang patah yang kami lalui. Agar dapat melaluinya, penumpang diminta turun dulu. Ups, merinding aku keluar dari mobil malam-malam di tengah hutan. Mudah-mudahan nggak dicolek macan, kataku. Kami juga sekali sekali membantu mendorong mobil agar bisa melewatinya. Beberapa kali kami juga melewati perkampungan suku dayak. Kadang 1 kampung cuma ada 5 rumah, kadang 10 rumah, kadang 20 rumah. Sebelum dan sesudah perkampungan biasanya hutan yang masih lumayan lebat pepohonannya. Kadang kami juga menemui sekumpulan babi hutan dan babi putih yang berkeliaran di jalan. Lucunya, kadang babi-babi itu malas untuk bergerak minggir. Nggak takut ya? tanyaku (malah aku yang takut.. hehe..) Itu babi peliharaan masyarakat dayak, kata mas kelik. Kalau nabrak, gantinya mahal. Lebih mahal dari membeli di pasar, kata kelik. O, pantes mas kelik mengusir sambil berjalan pelan mobilnya.

Setelah melalui jalan yang menegangkan (menurutku), akhirnya jam 1 malam aku sampai juga di Manis mata. Aku langsung diantar oleh mas kelik ke alamat yang kutuju. Di lokasi, orang-orang yang bekerja sudah tidur semua. Aku ketuk rolling door, berharap ada yang bangun. Alhamdulillah, wakil mandor terbangun dan membukakan pintu. Aku disuruhnya masuk. Setelah tanya jawab dan berkenalan, kami pun tidur. Cuma tinggal 5 orang yang masih bekerja hari itu. Tukang yang lain sudah pulang semua ke Ketapang, karena pekerjaan mereka sudah selesai.

Sebuah sungai di Manis mata
Sebuah sungai di Manis mata

Pertigaan (Pertemuan 2 sungai) di Manis mata
Pertigaan (Pertemuan 2 sungai) di Manis mata

Paginya, untuk mandi kami semua harus pergi ke rawa. Karena di lokasi kerja belum dibuat sumur bor, dan air yang ada dari hasil menandon waktu hujan hanya untuk memasak dan untuk darurat kalau mau buang air. Jarak ke rawa sekitar 400 meter dari lokasi kerja. Airnya bening tapi agak berwarna kemerahan. Kalau buat kumur juga agak sepet rasanya. Di rawa ini juga banyak nyamuk yang terbang sangat gesit. Kukira ini nyamuk kebun biasa, nggak tahunya itu nyamuk malaria (aku baru tahu setelah terkena demam). Tapi orang-orang situ biasa saja menghadapi nyamuk ini, karena rata-rata mereka sudah disuntik anti malaria (aku juga belum tahu sebelumnya).

Pada hari ke 3, sore hari, aku merasakan nggak enak badan. Nggak lama kemudian timbul bintik merah dan badan mulai terasa agak panas. Lama-lama bintik merah semakin banyak menjalar di seluruh tubuh, mulai dari muka, tangan, badan, dan kaki. Badan pun semakin bertambah panas. Waduh.. tanpa partner dari jakarta, di tengah hutan, siapa yang mau ngurus aku nih kalau sakit begini. Pikiranku mulai kacau, kepala terasa pusing sekali, pandangan berkunang-kunang, di samping badan panas tinggi (gejala malaria seperti itu, kalau kata teman-teman yang sudah pernah kena). Aku sudah minum obat sakit kepala yang kubawa dari jakarta, tapi nggak mempan juga. Malam itu aku melaporkan keadaanku pada orang kantor. Dengan cemas, orang kantor akan mengirim orang menyusulku. Tapi karena baru 1 hari, aku bilang nggak usahlah. Transportasi susah dan juga mahal. Lihat aja besok gimana keadaanku, kataku menenangkan.

Teman-teman di sana juga menenangkanku. Biasanya kalau kena malaria, pagi hari badan agak adem. Saat adem itulah nanti minta disuntik anti malaria. Di kantor perkebunan ada klinik kesehatan. Besok aku antar ke sana, kata salah seorang teman kerja. Kirain sebelum ke sini sudah disuntik anti malaria, kata temanku. Yah, mudah-mudahan besok pagi sudah adem.

Malam itu aku berjuang keras melawan demam, dengan banyak minum air bening dan sedikit diselingi minum air jeruk. Badan lemas sekali. Tidur malam aku beberapa kali menceracau karena demam tinggi. Bila terbangun, aku berjalan terseok-seok sambil pegangan dinding untuk buang air kecil dan minum air lagi banyak-banyak. Aku harus sehat! Aku harus kuat! 

Paginya, benar kata teman, badanku agak adem. Aku pun meminjam motor untuk ke klinik kesehatan di komplek perkebunan PT HSL (Harapan Sawit Lestari). Aku tidak mau dianter teman karena nggak mau merepotkannya. Padahal pagi itu badanku masih lemas, kepala masih pusing, mata masih berkunang-kunang. Selama aku masih sanggup, biarlah kulakoni sendiri. Saat berobat, aku cuma dikasih obat. Aku pun minta disuntik. Setelah di periksa suhu tubuh dan tekanan darah, akhirnya disuntik juga. Banyak istirahat dulu ya mas, biar pulih dulu fisiknya, kata dokter menasehatiku. Kalau sudah pulih baru kerja lagi. Alhamdulillah, pengobatan di sini gratis. Aku bersyukur, di tengah hutan gini masih ada klinik kesehatan. Kalau nggak ada, ke mana aku harus berobat? Orang kantorku juga terus memonitor keadaanku.

Sorenya badanku mulai panas kembali. Begitu juga malamnya. Tapi temanku bilang nggak apa-apa. Memang begitu koq kalau demam malaria. Kepalaku juga masih berasa pusing dan pandangan masih berkunang-kunang. Tapi sudah agak berkurang pusingnya kalau dibanding hari kemarin dan tadi pagi. Aku terus berjuang melawan demam ini sambil minum air bening banyak-banyak.

Hari berikutnya bintik merah mulai berkurang sedikit demi sedikit. Disamping minum obat, aku juga minum minyak VCO yang kubawa dari rumah. Aku juga mengoleskan VCO ini pada kulitku yang berbintik merah. Selain bisa diminum, VCO juga baik untuk luka di kulit. Sudah puluhan kali tanganku tergores dengan luka kecil. Tapi dengan mengoleskan VCO, bekas luka itu tidak tampak, seperti tidak pernah terluka.

Sorenya, bintik merah sudah tinggal sedikit, pusing kepala sudah hilang, dan pandangan sudah tidak berkunang kunang lagi. Malam pun suhu tubuh sudah mulai normal. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali.

Kebetulan sejak dari awal datang, aku masih menganggur. Karena barang kiriman dari kantor, seperti kabel, pipa, rak server, dll belum juga tiba. Kerjaku paling hanya mempersiapkan jalur untuk kabel dan panel-panel di outlet. Untuk kabel yang melewati plafon, aku bisa naik karena plafonnya lumayan tinggi. Tapi kalau naik ke plafon, aku tidak bisa lewat dari jam 8 pagi. Udara di atas plafon panas sekali. Rasanya seperti masuk ke ruangan oven. 15 menit saja di atas, keringat sudah bercucuran seperti cucian yang diperas. Lebih dari 15 menit, badan mulai sempoyongan dan mata berkunang kunang. Jadi harus bergerak cepat dan segera turun sebelum 15 menit. Setelah itu harus banyak minum agar tidak dehidrasi. Aku juga harus banyak minum air jeruk agar tidak lemas. Untung di sini ada warung yang menjual puppy orange, walau agak mahal. Sehari aku bisa menghabiskan 2-4 botol. Nggak apa-apalah asal sehat, pikirku.

Pada hari ke 12, barang kiriman untukku dari jakarta mulai tiba (28 hari, janji ekspedisi di jkt cuma 6 hari). Karena jalur  tarikan kabel sudah kusiapkan selama menunggu barang datang, maka pada hari ke 18 pekerjaanku sudah selesai. Aku kerjakan sendiri tanpa kenek. Karena mencari tukang di sini ternyata susah. Kalaupun ada yang mau, tapi minta bayaran 200 ribu per-hari. Jauh di atas budgetku. Setelah selesai aku telpon orang dari pihak bank untuk memeriksa, mengetest, dan menanda tangani Berita Acara Pekerjaan. Besoknya orang bank tersebut datang dari cabangnya di Ketapang. Setelah diperiksa, ditest, oke, BA pun ditanda tangani. Beresssss...

Box telpon di luar depan gedung
Box telpon di luar depan gedung
Contoh Outlet data & telpon di dinding
Contoh Outlet data & telpon di dinding

Pabx dan terminal MDF
Pabx dan terminal MDF
Rak server yang kurakit
Rak server yang kurakit



Gedung Bank yang kugarap instalasi Jaringan data & telponnya


Aku pun menelpon mas kelik, supir travel, kapan travel berangkat ke Pangkalan Bun. Besok sore mas, kata mas kelik. Ongkos sama kaya kemarin mas? tanyaku. Sama kalau penumpangnya minimal 6 orang, jawab mas kelik. Rupanya pembicaraanku dengan supir travel terdengar oleh officer bank. Beliu pun bertanya padaku, dan mengajak bareng ke Pangkalan Bun. Dari Pangkalan Bun beliau akan naik pesawat ke Ketapang. Beliau merasa lebih aman kalau pulang lewat Pangkalan Bun.

Esok sorenya, mas kelik menjemput kami berdua. Penumpang travel kelik ada 7 orang saat itu. Jam 9 malam kami sampai di Pangkalan Bun. Kamipun menginap lagi di Pangkalan Bun. Tapi karena bersama orang bank, kami menginap di penginapan yang bagus dengan rate 200.000/hari. Agar menghemat, kami mengambil 1 kamar saja dengan 2 tempat tidur. Kamipun patungan fifty-fifty. hahaha... O:)

Aku bertanya pada petugas hotel, apa ada penerbangan ke Jakarta kalau dari Pangkalan Bun. Ada mas, katanya. Dari jakarta ke sini juga ada, katanya pula. Aku menelpon orang kantor, agar dibelikan tiket dari Pangkalan Bun saja. 5 menit kemudian orang kantor balik menelponku, kata agen langganan beli tiket, nggak ada penerbangan dari Pangkalan Bun. Yo wis, transfer duitnya aja, biar aku beli langsung di sini.

Esoknya kamipun terbang dengan tujuan masing masing. Dadah mas kelik.. dadah teman-teman.. dadah pak Julianto.. dadah Manis mata.. dadah Pangkalan Bun..
Kapan ya bisa kesana lagi..
Memorial in Mei 2011
Jakarta, 5 Mei 2012 15:37

7 comments:

  1. heheheee baca ceritanya seruuuu

    ReplyDelete
  2. Sekarang manis mata sudah lumayan ramai lho...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukurlah.. Dengan kehadiran Bank Syariah Mandiri (satu2nya Bank saat itu) di sana jadi tambah ramai ya..?

      Delete
  3. [н̲̅]ɑ[н̲̅]a[н̲̅]ɑ=D[н̲̅]a[н̲̅]a[н̲̅]ɑº°˚ ˚°º≈ mantap yaa mas. Saya Rian, kebetulan kerja Di bsm manismata... Kapan" kesana lagi yaa

    ReplyDelete
  4. Insya Allah Pak Rian.. Jika YMK mengizinkan..

    ReplyDelete
  5. wahh seru bacanya ...walaupun saya bukan orang kalimantan ...penasaran bacanya

    ReplyDelete